Selasa, 04 Desember 2012

MENGINTIP SEJARAH KLJ

Istilah fotografi berasal dari bahasa Yunani, Photos-graphos. Photos artinya cahaya dan graphos artinya menulis atau melukis. Menulis atau melukis dengan cahaya.

Kamera Lubang Jarum adalah kamera yang bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum. Meski KLJ bukan alat yang sempurna, namun terbukti bisa mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan olah fisik. KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. Maka sangat pantas jika KLJ digunakan sebagai kendaraan untuk “pendidikan” dan juga “seni”. Dengan dasar seperti itu prestasi yang KLJI bisa diraih hingga kini antara lain: KLJ dijadikan pelajaran dasar fotografi

Berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas Chen Fu, Ray menuliskan pengalamannya di media GFJA tahun 1997, Photo Copy. Selanjutnya digelarlah workshop perdana pada 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang. Hasilnya, terbit buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM”.

Kamera Lubang Jarum (KLJ) adalah sebutan Pinhole camera lantaran konsep dasar inovasinya berbeda. Ray bertekad men-sosialisasi-kan “seni proses” ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Disinilah perbedaan Ray dengan para profesional fotografer yang pada saat itu sudah bahkan lebih dulu menggunakan pinhole camera. “Teknik” pun seakan-akan tak jadi soal, yang penting adalah masalah mengasah rasa. “Secukupnya”. Itulah konsep awal dari gerilya panjang yang sambung-menyambung: Jawa, Bali, Makassar. Hingga pada 17 Agustus 2002, Ray mengumandangkan proklamasi berdirinya Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI).

KLJI tak menyoalkan “kesempurnaan” karena “kegagalan” dan juga tidak memperssoalkan kamera tetapi justru bisa menjadi konsep dan menuntun kita menerobos segala rintangan. Maka eksplorasi makna “lubang jarum” jadi tujuan. Kita dituntut mampu meloloskan diri dari suatu situasi yang sulit, “kreativitas” jadi kendaraan yang sangat berguna untuk membantu meloloskan diri dari lubang jarum. Sebagaimana dikatakan Leonardo Da Vinci: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”.

Kamera Lubang Jarum bersifat handmade. Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan manusia-manusia kreatif, juga mengembalikan suatu momen ritual dan upacara dalam fotografi sekaligus memberikan kembali pemahaman tentang apa arti pelambatan di tengah digitalisasi kehidupan yang menawarkan percepatan pembangunan, pertumbuhan teknologi, budaya instan dan konsumerisme.
Lubang Jarum memanifestasikan suatu diktum bahwa proses alam dan kenyataan harus diikuti oleh sebuah proses alkimia dengan menggunakan hukum jarum sebagai proses.

Perkembangan Kamera Lubang Jarum di Indonesia
diigelar workshop perdana pada tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. [foto di atas adalah foto pertama yang dibuat dengan KLJ oleh Ray Bahtiar; tahun 1997; Pagar Rumahnya]

Akhirnya, September tahun 2001 terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Saya tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 berani memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain KLJ. [ foto di atas; KLJ Ray Bahtiar di tahun 2001]

Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008, Ray menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap menggaris bawahi pentingnya ber-KLJ. Bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.

Kinilah saatnya untuk menghargai sejarah sebagai langkah menuju masa datang. Atas pertimbangan itu pula jika KLJI memberikan penghargaan pada tahun 2007 kepada tokoh Fotografi Indonesia, Don Hasman yang masih aktif memotret dan tahun 2009 kepada kang Dayat Ratman tokoh fotografi hitam putih dari Bandung yang membantu lahirnya KLJ.

Puncak yang dicapai KLJI adalah tanggal 7 Desember 2010 atas pengakuan Newseum Indonesia yang memberikan “Anugerah Tirto Adhi Soerjo” kepada Detik.com dan Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) untuk kategori communiNATION dengan dasar:
          KLJI memanifestasikan suatu diktum bahwa proses alam dan kenyataan harus diikuti oleh sebuah alkimia dengan menggunakan hukum jarum sebagai proses. Apalagi jika itu dilakukan secara kolektif dan sadar sehingga menjadi sebuah kesaksian jurnalistik di tengah deru percepatan yang dielukan. Lantas jurnalistik tak semata hasil, tapi bagaimana hal itu dicapai dengan sebuah proses alkimia.

Hingga kini Komunitas Lubang Jarum Indonesia sudah tumbuh di 17 kota lebih dan kami tetap yakin akan terus berkembang karena KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna…